Melestarikan Batik Perlu Generasi Muda




Batik bukan hanya selembar kain jarit. Bagi Tumbu Astiani batik adalah keindahan yang selalu berkembang. Karena itu, kecintaannya terhadap batik pun diakui Ketua Bidang Pelestarian Yayasan Batik Indonesia (YBI) ini tidak pernah berhenti. “Jika saya ada uang lebih, saya akan mencari batik. Bagi saya, batik itu luar biasa,’ ucapnya suatu sore, di sela mengikuti seminar nasional mengenai batik di Yogyakarta, pekan lalu.

Terlahir sebagai orang Jawa, membuat Tumbu Astiani mengaku ‘sulit’ terpisahkan dari batik. Pertama-tama, sebagai orang Jawa, ibu 2 anak buah cintanya dengan Rahardi Ramelan, dirinya memahami dan meyakini bila telah berhubungan dengan batik sejak dirinya lahir. “Bukankah pada masyarakat Jawa, kelahiran seorang bayi selalu disambut dengan selembar selendang batik?” katanya bernada tanya. Hubungan dengan batik itu terus terjadi. Artinya, dalam kehidupannya sebagai bagian orang Jawa, kita akan berhubungan dengan batik dalam kebutuhan kehidupan. Entah sebagai busana, berupa perlengkapan upacara sampai dengan nanti saat terakhir dalam kehidupan kita, juga akan berhubungan dengan batik. “Ketika lahir kita disambut selendang batik. Ketika menutup mata, kita ditutup dengan selembar batik juga,” ucapnya serius.

Sebagai seorang pecinta batik, bagaimana Anda memandang batik?
Saya melihat batik dengan mempelajari proses kehidupan manusia dan keterkaitannya dengan batik. Dari situlah tumbuh kecintaan terhadap batik. Itulah yang mendasari kecintaan terhadap batik. Jadi tidak ada motivasi lain dalam melihat batik, kecuali kecintaan terhadap batik. Kebetulan 9 tahun silam di Jakarta ada gagasan mendirikan yayasan ketika waktu itu batik agak merana.
Merana?
Ya, kita merasakan batik merana karena anak muda tidak mau memakai dan pembatik sudah pada sepuh, tidak ada kader dan proses agak gamang. Dalam pikiran kita, sayang sekali kalau ditelantarkan. Keprihatinan itu membuat kita berpikir harus melakukan sesuatu. Waktu itu beberapa pecinta dan peminat batik berkumpul, memikirkan apa yang bisa disumbangkan untuk melestarikan batik. Itulah yang mendasari kelahiran Yayasan Batik Indonesia.
Anda menyebut waktu itu kondisi batik agak memrihatinkan. Bagaimana melihat sekarang?
Harus dikatakan, sekarang batik sudah mulai bangkit tapi belum sejaya era tahun 60 - 70an. Waktu itu bagus, tapi kondisinya terus menurun. Sekarang bisa dikatakan, batik mulai page-up, mulai naik tapi belum maksimal, masih banyak usaha yang harus dilakukan oleh semua pihak untuk membuat batik kembali jaya.
Upaya apa misal yang bisa dilaksanakan?
Dari YBI misal, kita berpikir bahwa untuk melestarikan batik memerlukan generasi muda. Maka kita usahakah generasi muda yang mau memakai batik. Untuk itu, kita memberikan dan menciptakan kemudahan-kemudahan dalam penampilan dengan batik, agar lebih bisa ditiru anak muda. Maka kemudian mengenakan rok batik dengan blus dan rambut terurai, tidak lagi jadi masalah bahkan tidak dipantang. Dulu, kalau orang mengenakan batik ya harus wiron dan berkonde. Sangat formal! Jika harus demikian, mana ada anak muda yang bisa dan mau mengenakan? Kita beri kemudahan dengan contoh. Bahkan bisa kok, kain batik dililit saja tanpa setagen, tanpa dijahit. Kemudian dipadu dengan blus yang santai dan tidak terpaku pada motif klasik. Batik itu welcome pembaruan motif baru, kreativitas baru.
Maksudnya?
Kita sadar, batik, tak sekadar selembar kain jarit. Bahkan juga bisa dengan warna-warna cerah. Semua itu dilakukan agar jangan memberi kesan batik hanya untuk ibu-ibu dan acara formal seperti kawinan. Kita juga mengupayakan keberagaman material. Tidak hanya katun, sutra, tetapi apa yang bisa seperti serat nanas, wool dan lainnya.
Anda hendak mengatakan, batik terbuka dengan hal baru?
Ya! Bahkan kita melihat ada trend yang bisa dikatakan tiba-tiba, yang saya lihat di Jakarta. Di sini, Yogya, kita belum melihatnya. Tapi di Jakarta, fenomenanya sudah muncul. Anak-anak jalan santai dengan batik yang santai. Fenomena yang kita akui, agak mengagetkan kita. Dua tahun lalu, dalam Gelar Batik Nusantara 2005, kita mengadakan tema batik untuk anak muda yang kita beri nama ‘batik is cool’. Tujuan kita, mencontohkan batik untuk anak muda yang bisa dipadu jeans, T-shirt dan lainnya. Dan ternyata kegiatan ini bergema dan pemakaian batik yang sudah sampai ke pelosok dengan desain yang dibuat menarik, eksklusif dan juga kreatif. Jadi sekarang sudah ada batik eksklusif dengan harga yang eksklusif pula. Namun juga ada batik yang harganya terjangkau anak-anak sekolah berkisar Rp 40 ribu - 50 ribu.
Ada perkembangan yang menyenangkan karena batik sudah terbuka. Tetapi bagaimana dengan motif yang selalu dikatakan memiliki makna tersebut? Bukankah yang demikian tidak bisa digunakan sembarangan?
Betul! Ada banyak problem ketika kita bicara batik. Apalagi kok hanya motif. Kita bahkan selalu mempertentangkan antara printing dan tulis. Di dalam seminar tadi pun masalah ini sejak awal sudah menjadi pembicaraan.
Anda sendiri bagaimana melihat ‘perbedaan’ printing dan tulis tersebut?
Bagi saya, as long as yang memakai tahu bahwa itu adalah printing, tidak masalah. As choice karena kemampuan saya hanya begini, meski hanya batik printing. Yang tidak bisa kita terima adalah batik printing ditawarkan sebagai batik tulis. Memang, batik dalam motif dan motif itu bermakna. Ini memang perlu kita lestarikan. Tapi bukan berarti harus berhenti dalam arti dengan motif itu. Tapi boleh dhong ada modernisasi, ada inovasi dan ada kreasi. Mungkin motif Garuda (Gurda) seperti yang selama ini bisa kok berkembang, dengan ditambah apalah agar lebih menarik. Kalau demikian, SDM kita juga tidak mudah lho menerima hal itu, mengingat perajin juga sudah sepuh Itulah, maka jangan-jangan sudah apriori dengan komputer. Komputer harus dilihat sebagai sebuah kemajuan teknologi. Jangan kita melawan, tapi kita harus memanfaatkan komputer, teknologi canggih itu. Kalau memberi kemudahan, why not? Maka kita pakai forum seperti seminar ini adalah untuk mengenalkan lewat media televisi, media cetak bila motif tidak hanya seperti itu. Kita selalu melihat batik itu apa? Tadi saja sudah ada yang mengatakan batik itu teknik dan desain.
Mari kita sepakati dulu, batik itu apa Anda hendak mengatakan, kesepakatan itu akan membuat perkembangannya batik lebih baik?
Ya, paling tidak lebih terarah, lebih terkontrol. Ada kaitannya dengan pasar? Jelas, bisa lebih bagus. Saya sangat tidak sepakat pada yang memaksakan menyebut bila Indonesia adalah asal mula batik. Tidak, tidak ada guna dan tidak ada relevansinya memaksakan itu. Karena tidak ada satu negara yang bisa membuktikan asal mula batik dari situ. Bukankah sekarang India, Cina, Mesir, Jepang selain Indonesia sendiri yang saling mengklaim sebagai tempat asal mula batik? Dan itu tidak kita ketahui kan, karena semuanya saling mengklaim. Yang kita inginkan, kalau sudah bicara batik maka pikiran orang akan ke Indonesia. Mengapa? Karena Indonesia unggul dalam hal ini.
Kalau demikian, Anda tidak akan mempersoalkan klaim batik dipatenkan Malaysia?
Itu mungkin salah kaprah. Malaysia tidak pernah mematenkan batik. Tadi dalam seminar dikatakan, yang mereka patenkan adalah suatu teknik pewarnaan. Itu inovasi baru. Kalau begitu boleh saja. Tapi yang jelas, tidak ada motif yang dipatenkan Malaysia, itu rumor yang tidak diketahui ujung pangkal tapi ditanggapi dengan emosional. Memang itu membuat resah kita sendiri. Mereka tidak apa-apa, kita yang kebakaran jenggot.
Tapi bukankah di Indonesia kemudian ramai-ramai mematenkan motif batik?
Tidak mematenkan, tapi mendaftarkan. Hanya didaftarkan. Nah... harus memahami, bila budaya tidak bisa dibatasi. Tidak ada border karena ini sebuah budaya dan budaya itu karya cipta manusia. Saya kadang jadi bingung, kok dibatasi. Kadang saya berpikir, kalau dibatasi, batik Jawa Tengah misalnya ‘kan sudah macam-macam tha? Bagaimana kalau kemudian ada pemekaran propinsi di Jawa Tengah. Lantas mana nanti yang akan disebut batik Jawa Tengah? Saya merasa, dulu keputusan ini tergesa, bahwa harus didaftarkan. Bagaimana dengan motif Indramayu, Cirebon, lantas siapa yang memiliki karena masing-masing mendaftarkan? Saya merasa, ini ada kebijakan salah kaprah dan kita tidak tahu konteksnya, bagaimana asal muasalnya. Ini terjadi setelah otonomi. Yang aneh kok semua jadi otonomi.

Ketika usia sudah hampir berkepala 7, Tumbu A Rahardi tidak surut dalam aktivitas. Meski sudah pensiun praktik dokter bukan berarti nenek 2 cucu ini menjadi santai di rumah. Banyak hal yang dilakukan dalam keseharian, apalagi jika sudah terkait dengan batik. Dan ia merasa bersyukur karena suami tercintanya bukan hanya mendukung, namun juga mencintai dan peduli dengan batik. Tumbu Rahardi pun sangat senang, ketika anaknya mulai ‘ngadhul-adhul’ koleksinya. Karena berarti, katanya dengan tertawa, anak yang selama ini diam-diam saja, mulai tertarik. “Mau diambil, silakan,” kata pemilik koleksi batik dan yang tertua adalah buatan 1890. Sebagai pasangan pecinta batik, Apapun juga, kalau ada uang lebih yang saya cari batik. Dan bapak sudah paham dengan semua itu. Harus saya katakan, saya sekarang sudah dalam taraf tidak mencari apa-apa. Tetapi batik bagi saya menjadi sesuatu yang sangat luar biasa.

Bagaimana koleksi Anda?
Dari lama hingga baru. Selama ini untuk sementara ini, ya hanya sebagai koleksi. Kalau ada waktu senggang, saya gelar, saya lihat. Pokoknya saya nikmati sendiri-lah koleksi ini. Memang beberapa kali ada saya pinjamkan untuk pameran di tempat lain. Beberapa waktu juga ikut dipinjam untuk dipamerkan di Museum Tekstil untuk batik pesisiran. Kebetulan, saya ada koleksi yang cukup bagus. Terus terang kini saya tidak ingin menyimpan untuk dinikmati diri sendiri. Maka koleksi yang saya anggap sebagai masterpiece, mulai saya kumpulkan. Kini sudah mulai saya tulis. Saya ingin membuat buku dan mungkin tahun depan buku ini sudah keluar.
Apa tujuan Anda dengan buku itu? Tujuan tidak untuk pamer bila saya memiliki semua ini. Tetapi saya ingin berbagi. Saya tidak takut untuk ditiru. Silakan mencoba untuk meniru. Silakan mencoba untuk membuat motif baru. Tidak ada masalah bagi saya. Saya hanya ingin share. Ingin saya mengatakan pada bangsa kita: “Ini lho, kita Bangsa Indonesia memiliki ini batik yang adiluhung, yang bukan sekadar selembar kain”.
Previous
Next Post »